Habib Alwi bin Ahmad Bahsin

 Habib Alwi bin Ahmad Bahsin lahir di Palembang, Sumatra Selatan pada Jumat sore, Muharram 1326 H/ Maret 1908 M. Beliau lahir dari pasangan Habib Ahmad bin Muhammad bin Zen dan Syarifah Syifa’ binti Abdurrahman bin Ahmad. Keduanya adalah keluarga Bahsin.

Banyak orang mengenal beliau dengan sebutan “Ma’lim Nang”. “Ma’lim” adalah sebutan sehari-hari di kalangan masyarakat Palembang yang berarti “mu’allim”, yaitu orang yang mengajar agama. Sedangkan “Nang” adalah panggilan beliau ketika kecil.

Habib Alwi mendapat didikan pertama kali dari kedua orang tuanya, ditambah dengan paman-pamannya. Di antara para pamannya yang mendidik beliau adalah Habib Ali bin Muhammad Bahsin, dengan pelajaran baca tulis Al-Qur’an. Kemudian Habib Hasan bin Abdurrahman Bahsin (paman dari pihak ibunya) dalam ilmu-ilmu alat bahasa Arab.

Guru-guru lainnya di antaranya adalah Habib Aqil bin Abubakar Basyu’aib (murid Habib Ahmad bin Hasan Al-Habsyi), Habib Muhammad bin Aqil Bin Yahya, Syaikh Salim ‘Arfan, Syaikh Abdullah Balwael, Syaikh Haji Abdul Haq. Tiga nama terakhir itu adalah gurunya dalam disiplin ilmu bahasa Arab. Beliau juga menimba ilmu fiqih dan tasawuf dari K.H. Abdullah Azhari, yang masyhur dengan sebutan “Kiai Pedatuan 12 Ulu”.

Selain itu tercatat juga sejumlah nama yang menjadi guru Habib Alwi, antara lain Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaf, Habib Ahmad bin Abubakar Bin Syihab, Habib Umar bin Segaf Assegaf (yang wafat syahid di Sungai Musi, Palembang), Habib Umar bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Aqil bin Ahmad al-Munawwar, Habib Muhammad bin Muhsin Al-Hamid, Habib Abdurrahman bin Abdullah Bin Syihab (16 Ulu), Syaikh H. Qosim (Gunung Maraksah).

Panjangnya deretan guru-guru beliau menandakan kesungguhan dan ketekunan Habib Alwi dalam menuntut ilmu. Selain tekun menggeluti ilmu-ilmu agama, beliau juga menempuh pendidikan formal di sekolah Arabian School. Maka tak heran bila di usia yang sangat belia, 15 tahun, Habib Alwi sudah dipercaya untuk mengajar.

Di antara cabang ilmu yang sering beliau ajarkan adalah ilmu tauhid dan fiqih, terutama seputar tata cara wudhu dan shalat. Dalam mengajar, beliau tak sekadar memberikan teori semata, namun langsung mempratekkannya, sehingga lebih mudah bagi murid-muridnya untuk memahami apa yang diajarkan.

Kedua ilmu ini (ilmu tauhid dan ilmu fiqih) memang sering beliau sampaikan di kala mengajar ataupun berdakwah. Meski tampak sepele, namun bagi beliau keduanya sangat penting sebagai tanda bukti kesungguhan dalam menaati perintah Allah SWT. Beliau juga sering mengingatkan para orangtua agar selalu memerintahkan kepada anak-istri dan segenap keluarganya untuk menjaga shalat.

Pada 1948, Habib Alwi membuka sekolahnya sendiri. Beliau membuka sebuah madrasah bernama “Al-Kautsar”. Murid-murid yang belajar di madrasah itu tak hanya datang dari daerah sekitar madrasah tapi juga berasal dari kampung-kampung tetangga. Para pengajar di madrasah ini adalah para ustadz yang dulu pernah belajar kepada beliau.

Habib Alwi tak hanya aktif di Madrasah Al-Kautsar, namun beliau juga mengajar di Madrasah Al-Kafiyah 14 Ulu, serta berdakwah ke pelosok daerah terpencil. Beliau tak kenal lelah berdakwah ke wilayah-wilayah yang sulit untuk dijangkau. Salah satunya adalah dakwah beliau ke daerah pesisir Sungai Musi yang hanya dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi sungai.

Sebelum berangkat, beliau menyiapkan sampan, lampu petromaks, dan perlengkapan lainnya. Habib Alwi membawa beberapa orang untuk membantunya mengayuh sampan sampai ke arah tujuan. Sambil mendayung sampan, beliau menunggu kalau-kalau ada perahu motor yang lewat searah tujuan. Kalau didapat, maka beliau akan meminta izin untuk menambatkan tali ke perahu motor itu, sehingga perjalanannya dapat lebih cepat.

Sesampainya di tujuan, rombongan segera singgah ke mushalla dan membersihkannya. Setelah bersih, tikar segera digelar dan lampu petromaks pun dinyalakan. Ketika semua sudah siap, barulah beberapa orang dari rombongan menyebar untuk memberi kabar kepada masyarakat sekitar bahwa malam nanti akan diadakan pengajian di mushalla.

Selesai pengajian, rombongan Habib Alwi kembali ke Palembang. Sekali lagi, sambil mendayung sampan beliau menanti perahu motor yang lewat ke arah Palembang. Dan sekali lagi meminta izin untuk dapat mengikatkan talinya ke perahu motor yang lewat searah agar lebih cepat sampai tujuan.

Selain mejelajah ke wilayah pelosok untuk berdakwah. Habib Alwi juga mengajar di sejumlah perkampungan yang tersebar di Ulu dan Ilir kota Palembang. Beliau terus berjuang mensyiarkan syariat Islam dan meneruskan perjuangan datuknya, Rasulullah SAW.

Habib Alwi dikenal memiliki ahlaq yang mulia, berbudi pekerti luhur, hati yang ikhlas, dan mengasihi sesama kaum muslimin. Salah satu tanda dari sifat-sifat beliau itu adalah begitu besar perhatiannya kepada orang-orang tak mampu dan anak yatim.

Hal ini terlihat dari kesungguhan beliau untuk ikut aktif dalam membina Darul Aitam (panti asuhan), yang didirikan di Palembang pada 8 Desember 1971 M/29 Syawwal 1391 H. Sebelumnya beliau juga turut mendirikan Madrasah Al-Munawariyah yang diasuh Ustadz Husin bin Agil Al-Munawwar (ayahanda Prof. Dr. Said Agil Al-Munawwar).

Pada awal 1395 H/ 1975 M, Habib Alwi mempelopori kegiatan kuliah Subuh di masjid dan mushalla yang ada di 12, 13, dan 14 Ulu. Kegiatan majelis dimulai pada pukul 6 hingga 6.30 setiap paginya. Sedangkan pada hari Jumat dilaksanakan di kediamannya sendiri yang hingga sekarang masih berlangsung. Khusus bagi jamaah perempuan, majelis dilaksanakan pada Jumat pukul 8 pagi. Namun sayangnya, untuk yang perempuan ini kini sudah tak aktif lagi.

Habib Alwi juga mengajar di Mushalla Darul Muttaqien (sekarang telah menjadi masjid) setiap Ahad pukul 8 pagi. Ceramah beliau saat itu disiarkan langsung melalui Radio Gersyidam (Gerakan Syiar dan Dakwah Islam), kini menjadi Radio Garuda Jaya.

Nama Habib Alwi sendiri sudah masyhur di kalangan habaib dan ulama hingga ke luar Palembang. Kabarnya, Habib Ali bin Husein Alatas (Habib Ali Bungur) selalu meminta orang Palembang yang datang kepadanya untuk menyampaikan ke Habib Alwi agar mendoakan dirinya. Sampai Habib Ali berwasiat, bila ia wafat, ia meminta Habib Alwi Bahsin dari Palembang yang memandikannya.

Ketika pada 16 Shafar 1396/ 17 Februari 1976, Habib Ali wafat, Habib Alwi segera terbang ke Jakarta. Sebagaimana wasiat Habib Ali, beliau kemudian memandikannya.

Rumah Habib Alwi tak pernah sepi dari tamu, sejak pagi, sore, hingga malam hari. Mereka yang datang ada yang mau belajar ataupun meminta keberkahan doanya. Padahal dalam kesehariannya Habib Alwi sering tak memiliki beras di rumahnya untuk dimakan. Namun, kesabaran dan keceriahan selalu nampak di wajahnya.

Suatu ketika beliau kedatangan murid dan sahabat karibnya. Mereka berkumpul di rumah beliau dari pagi hingga petang. Ketika usai shalat Zhuhur, dalam hati salah satu tamunya terlintas, biasanya Habib mengajak makan, namun saat itu hidangan tak juga keluar. Sedang Habib masih hangat bercanda dengan para tamunya. Hingga jarum jam menunjukkan pukul 2 siang, keluarlah makanan hanya berupa singkong.

“Inilah makanan yang dapat dimakan hari ini, sebab sudah tiga hari di rumah tak ada beras untuk dimasak,” kata Habib Alwi.

Ini adalah salah satu sifat qanaah dan sabarnya sebagai hamba Allah SWT. Meski demikian, menghormati tamu dan pendatang selalu tampak dari wajahnya yang penuh wibawa itu.

Habib Alwi juga menghindari segala bentuk perdebatan. Apalagi perdebatan terkait mahzab. Beliau selalu ramah menerima orang yang datang, meskipun mereka berbeda pandangan dan mahzab. Namun demikian beliau selalu berwasiat kepada umat untuk berpegang teguh pada aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagaimana yang diwasiatkan para salafush shalih.

Di sela-sela kesibukannya mengajar dan berdakwah, Habib Alwi masih meluangkan waktunya untuk menyusun buku dan risalah ringkas yang sangat bermanfaat. Di antaranya adalah Al-Aqidah Al-Bahsiniyyah, Al-Mutsallatsat fi al-Lughah al-‘Arabiyah, Tathhir al-Qulub min al-Akdar fi al-Ad’iyyah (berisi doa-doa), Al-Manhaj as-Sawi min al-Masyra’ ar-Rawi, Pelajaran Insya’, Ringkasan Sejarah Nabi (tanya jawab seputar kelahiran dan hijrahnya Rasulullah SAW), Al-Ad’iyyah fi ash-Shalawat al-Khams wa Kalimah at-Tauhid, Perihal Ilmu Fa-al (terjemahan kitab Risalah Kasyf al-Khafi, karya As-Syaikh Ismail bin Abdullah), Amalan-Amalan Setelah Shalat Jumat (kutipan dari kitab Kasyifatus Saja, karya Syaikh Nawawi, Banten), juga untaian-untaian nasihat lainnya.

Habib Alwi wafat pada 1 Jumadal Ula 1405 H/ 22 Januari 1985 M. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di pemakaman habaib Telaga Sewidak, 14 Ulu, tepatnya di Gubah Habib Ahmad bin Hasan Al-Habsyi.

Nisan Habib Alwi hanya menggunakan dua batu kali yang diletakkan di bagian kepala dan kaki. Sebelum wafat, beliau berwasiat bahwa makamnya tidak boleh lebih tinggi dari makam gurunya Habib Hasan. Hal ini merupakan bentuk sikap kebersahajaan Habib Alwi. Meski banyak orang mengenal beliau sebagai sosok alim besar yang menguasai berbagai disiplin ilmu agama.


Sumber: Majalah ALKISAH No.08/16 – 29 April 2012 – Rubrik Manaqib.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak