Ibrahim bin Adham,


Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah Swt sangat bergembira ketika ada hambaNya yang bertaubat dan kembali kepadanya.


Rasulullah Saw menggambarkan bahwa kegembiraan Allah Swt terhadap hamba yang bertaubat adalah melebihi gembiranya seorang musafir yang kelaparan dan kehausan di tengah guru, sementara kuda dan seluruh perbekalan hilang entah ke mana,hingga ia putus asa dan pasrah pada kematian, tapi kemudian tiba-tiba kudanya itu kembali dengan membawa seluruh perbekalannya itu!

Alangkah indahnya pertaubatan, kembalinya kesadaran akan kebaikan. Sungguh banyak kita menemukan kisah-kisah pertaubatan yang menyentuh hati. Salah satunya adalah kisah taubatnya Ibrahim bin Adham, seorang ulama besar dari Balkh.

Sekedar mengulang perkenalan dengan Ibrahim bin Adham, beliau adalah seorang ulama yang lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam sejarah sufi, ia disebutkan sebagai seorang penguasa yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara ke arah Barat untuk menjalani hidup bersendirian yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga ia meninggal dunia di negeri Persia kira-kira tahun 165H/782M.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium. Taubatnya Ibrahim merupakan sebuat kisah yang unik dalam kehidupan kaum muslimin.

Syahdan, awalnya Ibrahim bin Adham adalah seorang penguasa di Balkh dan memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas. Ke mana pun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buat tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya.

Pada suatu malam ketika ia tertidur di bilik istananya, atas bilik itu berderak-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Ibrahim terjaga dan berseru:

“Siapakah itu?”

“Sahabatmu. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atas atap ini,” terdengar sebuah sahutan.

“Bodoh, engkau handak mencari unta di atas atap?” seru Ibrahim.

“Wahai manusia yang lalai,” suara itu menjawab. “Apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas katil emas?” suara itu menjawab.

Kata-kata itu sangat mengecutkan hati Ibrahim. Ia sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya. Ketika hari telah siang, Ibrahim pergi ke ruang tamu dan duduk di atas singgahsananya sambil berfikir-fikir, risau dan merasa amat bimbang. Para menteri berdiri di tempat masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Kemudian dimulailah pertemuan terbuka.

Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke dalam ruang tamu itu. Wajahnya begitu menyeramkan sehingga tidak seorang pun di antara anggota-anggota mahupun hamba-hamba istana yang berani menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki tersebut melangkah ke depan singgasana.

“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku baru sahaja sampai ke tempat persinggahan ini,” jawab lelaki itu.

“Ini bukan tempat persinggahan para kafilah. Ini adalah istanaku. Engkau sudah gila!” Ibrahim menghardiknya.

“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” tanya lelaki itu.

“Ayahku!” jawab Ibrahim.

“Dan sebelum ayahmu?”

“Kakekku!”

“Dan sebelum kakekmu?”

“Ayah dari kakekku!”

“Dan sebelum dia?”

“Kakek dari kakekku!”

“Ke manakah mereka sekarang ini?” tanya lelaki itu.

“Mereka telah tiada. Mereka telah mati,” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, bukankah ini tempat persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”

Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sungguh, ada yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Nabi Khidir as.

Sejak hari itu, kegelisahan dan kerisauan hati Ibrahim semakin menjadi-jadi. Ia dihantui oleh bayang-bayangnya sendiri dan terdengar suara-suara di malam hari; kedua-duanya sama merisaukan.

Akhirnya karena tidak tahan lagi, pada suatu hari Ibrahim berkata:

“Siapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tidak tahu apakah yang telah terjadi terhadap diriku sejak kebelakangan ini. Ya Allah, bilakah semua ini akan berakhir?”

Setelah kudanya disiapkan lalu ia berangkat pergi memburu. Kuda itu dipacunya melalui padang pasir, seolah-olah ia tidak sadar akan segala perbuatannya. Dalam kerisauan itu ia terpisah dari rombongannya. Tiba-tiba terdengar olehnya sebuah seruan:

“Bangunlah!”

Ibrahim pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk kali keduanya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tidak mempedulikannya. Ketika suara itu berseru untuk kali ketiganya, Ibrahim semakin memacu kudanya. Akhirnya untuk kali keempat, suara itu berseru: “Bangunlah sebelum engkau kupukul!”

Ibrahim tidak dapat mengendalikan dirinya. Di saat itu terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu tetapi tiba-tiba binatang itu berkata kepadanya: “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat menangkapku. Untuk inikah engkau diciptakan atau inikah yang diperintahkan kepadamu?”

“Tuhan, apakah yang menghalang diriku ini?” seru Ibrahim. Ia memalingkan wajahnya dari rusa tersebut. Tetapi dari tali pelana kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa, Ibrahim kebingungan dan ketakutan. Seruan itu semakin jelas karena Allah Yang Maha Berkuasa mau menunaikan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru lagi dari bajunya. Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu syurga terbuka bagi Ibrahim. Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. Ibrahim turun dari tunggangannya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air matanya. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.

Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat seorang gembala yang memakai pakaian dan topi dibuat dari bulu kambing biri-biri. Pengembala itu sedang menggembalakan sekumpulan binatang. Setelah diamatinya ternyata si pengembala itu adalah hambanya yang sedang menggembalakan biri-biri kepunyaannya. Kepada pengembala itu Ibrahim menyerahkan pakaian yang bersulam emas, topinya yang bertatahkan batu permata dan biri-biri tersebut, sedang dari pengembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi dari bulu biri-biri yang sedang dipakainya. Ibrahim lalu memakai pakaian dan topi bulu milik pengembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan penuh kekaguman.

“Betapa megah kerajaan yang diterima putera Adam ini,” malaikat-malaikat itu berkata. “Ia telah mencampakkan pakaian keduniaan yang kotor lalu menggantikannya dengan jubah kepapaan yang megah.”
Dengan berjalan kaki, Ibrahim bermusafir melalui gunung-ganang dan padang pasir yang luas sambil menyesali segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya ia sampai di Merv. Di sini Ibrahim melihat seorang lelaki terjatuh dari sebuah jambatan. Pasti ia akan mati dihanyutkan oleh air sungai.

“Dari jauh Ibrahim berseru: “Ya Allah, selamatkanlah dia!”

Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di awang-awangan sehingga orang lain tiba dan menariknya ke atas. Dan dengan merasa heran mereka memandang Ibrahim:

“Manusia apakah itu?” seru mereka.

Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai ke Nishapur. Di kota Nishapur Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil di mana ia dapat tekun mengabdikan diri kepada Allah. Akhirnya bertemulah ia dengan sebuah gua  yang akan menjadi amat terkenal. Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri selama sembilan tahun, tiga tahun pada setiap ruang yang terdapat di dalamnya. Tidak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang maupun malam di dalam gua itu, karena hanya seorang manusia yang luar biasa gagahnya yang sanggup sendirian di dalam gua itu pada malam hari.

Setiap hari Kamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua tersebut untuk mencari kayu api. Keesokan paginya ia pergi ke Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. Setelah melakukan solat Jum'at ia pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya. Roti itu separuhnya diberikan kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk membuka puasanya. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak