Dalam ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah, Allah swt diimani sebagai Tuhan yang menciptakan dan menentukan segalanya. Diksi ‘segalanya’ di sini mencakup perbuatan-perbuatan manusia, baik berupa ketaatan atau kemaksiatan. Hal ini Allah swt tegaskan dalam Al-Quran surat As-Shaffat ayat 96:
ÙˆَاللّٰÙ‡ُ Ø®َÙ„َÙ‚َÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ…َا تَعْÙ…َÙ„ُÙˆْÙ†َ
Artinya, “Allah-lah yang ciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
Dari sudut pandang tauhid, sebetulnya tidak ada permasalahan bagi keyakinan semacam ini mengingat sifat Allah yang maha kuasa meniscayakan tak satupun makhluk yang bisa eksis tanpa daya ciptaNya. Namun demikian, karakter manusia yang suka mempertanyakan selalu menemukan kejanggalan. Pasalnya, apabila Allah swt yang menciptakan tindakan-tindakan manusia, adilkah jika Ia menghukum para pendosa? Bukankah itu berarti Allah swt menghukum makhluk atas perbuatan yang Ia ciptakan? Tidakkah hal tersebut merupakan bentuk kezaliman? Namun sebaliknya, apabila semua perbuatan manusia dianggap sebagai hasil ciptaannya sendiri, maka sama saja meyakini ada sesuatu yang bisa eksis di luar ketentuan Allah swt. Ini berarti membatalkan sifat kemahakuasaan Allah swt yang mutlak dan mencakup segalanya.
Untuk memberikan jawaban yang memuaskan atas dilema tersebut, terdapat tiga hal mendasar yang perlu dipahami. Pertama, penciptaan Allah swt atas perbuatan-perbuatan manusia tidak bisa diartikan sebagai paksaan terhadap mereka. Hal ini karena Allah swt menciptakan kemampuan untuk memilih atau free will di dalam diri manusia. Dengan perangkat free will inilah, manusia dapat memutuskan melakukan perbuatan tertentu dari sekian pilihan tindakan yang ada. Allah swt tidak memaksanya memilih perbuatan tersebut.
Kedua, proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang menggunakan free will disebut sebagai kasb yang oleh Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi didefinisikan:
“Kasb adalah memilih sesuatu dengan tujuan dan tekad untuk melakukannya.” (Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Insan Musayyaram Mukhayyar, [Damaskus, Darul Fikr: 1997], halaman 59). Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara kasb sebagai upaya manusia memutuskan suatu tindakan dengan melakukan tindakan yang diistilahkan dengan al-fi’lu.
Ketiga, pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah swt didasarkan pada aspek kasb, bukan al-fi’lu. Dengan begitu, balasan yang Alla swt berikan kepada manusia bukan melihat pada bentuk perbuatannya, tetapi pada keputusan sadar manusia dalam memilih perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat Al-Baqarah, ayat 286 :
Artinya, “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya (kasabat) dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya (iktasabat).”
Di dalam penggalan ayat tersebut, Allah swt berfirman dengan menggunakan kata kasabat dan iktasabat yang turunan kata dari kasb, bukan dengan fa’alat atau ifta’alat yang merupakan turunan kata dari al-fi’lu. Dari sini dapat dipahami alasan manusia tetap pantas mendapat balasan atas perbuatan-perbuatannya meskipun bentuk perbuatan tersebut adalah ciptaan Allah swt. Kepantasan itu disebabkan karena perbuatan yang Allah swt ciptakan untuk manusia itu menuruti keputusan hatinya.
Syekh Sa’duddin At-Taftazani menjelaskan sebagai berikut: Artinya, “Jika seseorang berniat melakukan perbuatan baik, Allah ciptakan kemampuan berbuat baik. Jika ia berniat melakukan perbuatan buruk, Allah ciptakan kemampuan berbuat buruk, maka dialah orang yang menyia-nyiakan kemampuan berbuat baik sehingga pantas dicela dan disiksa.” (Sa’duddin At-Taftazani, Syarhul ‘Aqaidin Nasafiyyah, [Damasku, Darut Takwa: 2020], halaman 224).
Kesimpulannya, memang benar Allah swt adalah satu-satunya yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia. Akan tetapi, penciptaan itu didasarkan atas pilihan merdeka manusia dengan perangkat free will yang Allah swt sediakan untuknya. Untuk memahami lebih jelas, konsep ini dapat digambarkan dalam permisalan berikut. Ketika azan Subuh berkumandang, Zaid punya pilihan untuk melanjutkan tidur atau berangkat ke masjid. Ternyata Zaid memilih untuk tidur. Keputusan Zaid untuk memilih tidur ini adalah kasb. Namun, bentuk perbuatan tidur Zaid merupakan ciptaan Allah swt. Dengan demikian, letak pertanggungjawaban Zaid di akhirat kelak adalah pada keputusannya untuk memilih tidur dan menyia-nyikan pilihan berangkat ke masjid.
Adapun bentuk perbuatan tidurnya hanya sekadar saksi atas keputusan tersebut. Maka terjawablah dilema yang disampaikan sebelumnya bahwa manusia sepenuhnya berhak untuk diadili disebabkan keputusan perbuatannya yang merdeka. Akan tetapi, keputusan tersebut tidak berada di luar kekuasaan Tuhan. Hal itu karena baik kemampuan manusia untuk membuat keputusan serta perbuatan yang muncul dari keputusan tersebut adalah ciptaan Allah swt. Wallahu a'lam
sumber asli https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/memahami-konsep-free-will-dalam-aqidah-islam-kxiaw